Kajian Ilmiah Makmeugang, Tradisi Orang Aceh Menjelang Ramadhan



Surabaya - Hari ini, Kamis merupakan H -1 dari bulan suci yang penuh rahmat dan magfirah, Ramadhan 1439 H. Sehari lagi memasuki bulan puasa.

Teringat kenangan dulu dipagi hari seperti ini bapak (ayah) saya ke pasar Samalanga yang berjarak 500 meter dari rumah untuk membeli daging, ikan, udang dan lain-lain. Hal itu berlangsung setiap H -1 Ramadhan. Sementara ibunda tercinta mempersiapkan segala bahan rempah-rempah yang diperlukan untuk memasak daging tersebut. Daannn.. sekitar puku 11.00 wib masakan ibunda tercinta sudah bisa dinikmati. Ini merupakan salah satu adat orang Aceh, kami menyebutnya makmeugang, atau disebagian tempat disebut meugang.

Sayangnya, hari makmeugang kali ini saya berada jauh dari rumah dan hanya bisa menikmati masakan enak ibunda dari narasinya (telepon).

Berikut ada artikel menarik dari, Husaini Yusuf tentang tradisi makmeugang yang dapat menambah khasanah pengetahuan sahabat bang Nirwanfiles.

Indonesia adalah negeri dengan multietnis dan ragam budaya, tak terkecuali Aceh yang terletak di ujung barat Nusantara. Aceh dikenal dengan adat berlimpah dan macam jenis budaya, termasuk Uroe Meugang atau Makmeugang. Tradisi meugang adalah hari kebersamaan dengan keluarga dekat juga bersukaria bersama orang tua, istri, anak, dan tetangga dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan yang lazim dilaksanakan pada H -1 dan -2 sebelum melaksanakan puasa Ramadhan. Uroe meugang juga senantiasa dilakukan oleh masyarakat Aceh tatkala menyambut Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Sunda dengan Cucurak-nya, di keluarga Jawa dengan tradisi Megangan, orang Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan adatnya yang khas yakni Begibung (makan bersama dengan warga dan masyarakat), urang awak dengan Balimau-nya, serta Suro’baca atau berdoa bersama oleh masyarakat Bugis-Makasar yang dilakukan secara turun-temurun (Kompas, 2013).

Ada perkataan orang Aceh yang sering kita dengar menjelang hari meugang; Jak beuranggahoe jeut, watee uroe meugang beu meutemeu pajoh sie meugang mak taguen (pergi kemana pun boleh asal ketika hari meugang menyempatkan diri makan daging masakan Ibu). Kalimat sederhana ini sering diutarakan oleh para lelaki yang sudah menanjak dewasa konon lagi mereka yang bekerja diluar tempat tinggalnya (urban lokal). Namun bagaimana jadinya jika kalimat tersebut terdengar oleh para perantau antardaerah, antarpropinsi maupun di luar negeri? Tentu saja, sesuatu yang sangat menyedihkan. Kesedihan yang mendalam tentu menyelimuti bagi mereka yang sedang berada jauh dari kampung halaman atau tanah kelahirannya. Namun bagi ureung Aceh yang ada di tanoh endatu dipastikan akan menyambut makmeugang dengan penuh sukacita. Hal ini dilakukan bukan tanpa sebab, selain dapat berkumpul bersama keluarga besar juga karena mengikuti perintah Nabi saw tentang bergembiranya umat Islam ketika menyambut bulan penuh kesucian itu.

Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang bergembira dengan kedatangan bulan Ramadhan, niscaya Allah Swt mengharamkan jasadnya dari neraka.” Hadis tersebut menjadi energi tambahan bagi masyarakat Aceh dalam merayakan kedatangan bulan agung tersebut. Dalam kehidupan masyarakat Aceh, adat sangat terkait dengan syariat. Sehingga dalam hadih maja Aceh juga sering disebut, adat ngon hukom lagee zat ngon sifeut. Artinya, setiap tindakan atau adat yang dilakukan tidak jauh dari hukum syariat.

Agenda penting
Dalam Qanun Meukuta Alam, Bab II Pasal 5 yang menjadi pegangan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dalam menjalankan roda pemerintahannya, uroe makmeugang termasuk satu agenda penting saban tahun menjelang Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Dalam Qanun itu disebutkan, sebulan sebelum meugang, Sultan memerintah para Keuchik, Imum Meunasah dan Tuha Peut seluruh Aceh untuk mendata warga yang tergolong fakir miskin, inong balee (perempuan janda), yatim piatu, orang sakit (lumpuh) dan orang buta, serta orang sakit yang tak mampu lagi mencari nafkah. Mereka yang termasuk dalam kategori ini akan mendapatkan daging meugang gratis dari Sultan.

Geertz (2007) mengatakan, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam suatu komunitas. Dengan adat istiadat yang kokoh suatu komunitas dapat menjalin interaksi sosial, mengikat persaudaraan dan kebersamaan. Hal ini pula yang dilakukan oleh masyarakat Aceh, termasuk masyarakat diperantauan dalam memaknai pentingnya merawat tradisi meugang.

Bagi mereka yang tidak sedang berada di tanah kelahirannya, Aceh, maka melestarikan budaya meugang merupakan tradisi nenek moyangyang sangat penting dilakukan. Dalam pandangan sosiologis, peran dan perilaku yang dilakukan oleh seseorang, kelompok dan komunitas menunjukkan identitas mereka.

Demikian halnya dengan kearifan lokal meugang, bukan saja terbatas pada soal berbagi makan antarsesama, namun juga sebagai wadah untuk menjalin silaturrahim antarwarga, momentum saling bermaaf-maafan sebelum memasuki bulan suci Ramadhan, serta tak kalah penting adalah menjaga tradisi. Karena hadih maja Aceh mengatakan, matee aneuk meupat jirat, gadoeh adat pat tamita (meninggal anak ada kuburannya, hilang adat tak tahu dicari kemana).

Tradisi dan adat istiadat meugang yang telah mengakar pada setiap benak keturunan Aceh kiranya perlu untuk terus dilestarikan dan dijaga agar kelak menjadi warisan budaya bagi generasi mendatang. Karena di era globalisasi teknologi dewasa ini untuk menjaga kearifan lokal (local wisdom) bukan perkara sederhana, tetapi menjadi tantangan besar. Apalagi di masyarakat urbandengan ragam etnis yang berbeda, kekentalan “rasa” meugang-nya terasa makin memudar dengan tingginya pendatang dari berbagai daerah. Konon lagi, bagi generasi sekarang yang disibukkan dengan berbagai teknologi media nan elektronis.

Simbol budaya
Pierre Bourdieu (1988) salah seorang sosiolog dan budayawan Prancis, mengatakan bahwa sejatinya interaksi yang dijalankan manusia ialah sarat dengan simbol-simbol. Termasuk yang dijalankan oleh masyarakat Aceh dengan simbol meugang-nya. Agar simbol budaya ini terus bergema serta tidak usang dikikis zaman, maka harus ada upaya dari semua pihak untuk melestarikannya termasuk pemerintah, tentu dengan berbagai kebijakan yang diterapkan semisal pendidikan lokal yang dapat memberikan pemahaman kepada generasi penerus tentang apa pentingnya uroe makmeugang bagi masyarakat Aceh.

Peran lembaga pendidikan menurut hemat penulis sangat penting untuk mengajarinya secara holistik. Di samping langkah sosialisasi pada setiap even budaya yang diselenggarakan oleh Pemerintah Aceh. Kemudian pada tingkat keluarga, terutama mereka di perantauan, perlu memberikan pemahaman kepada generasinya yang hidup dengan masyarakat plural. Tradisi yang telah lahir dalam masyarakat Aceh sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam itu dapat dijadikan sebagai gambaran kesolidan masyarakat dalam menghadapi dinamika sosial.

Dalam pola kehidupan umat Islam, adat lama yang bermanfaat perlu dipertahankan dan tradisi baru yang berguna juga penting dipertimbangkan. Hal ini seperti disebutkan oleh banyak kalangan Muslim, yakni almukhafadhatu alal qadimish shalih wal akhdu bil jadidil ashlah (menjaga tradisi serta mengembangkan inovasi).

Akhirnya, kami selaku masyarakat Aceh yang saat ini sedang berada di perantauan mengucapkan, selamat menikmati indahnya uroe meugang bagi mereka yang merayakannya dan selamat menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1438 H. Wallahu’alam bi al-shawab.

* Husaini Yusuf, Peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh, saat ini sedang mengikuti pendidikan program pascasarjana Sosiologi Pedesaan di Institut Pertanian Bogor (IPB), berasal dari Cot Keueung, Aceh Besar.

Semoga bermanfaat, selamat menjalankan ibadah suci Ramadhan 1429 H semoga ibadah kita kali ini mencapai level maksimal, amin.

Nirwanfiles
Reactions

Post a Comment

0 Comments

Close Menu